Selasa, 29 Desember 2009

TUGAS SEMESTER 2

KAPITA SELEKTA TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN
PENDIDIKAN IVAN IILICH



oleh :
Bachtiardi P.S 07110241001
Nurachmayanti 07110241007
Novianto Wibowo 07110241018
Oka Deva Yunianto 07110241028
Desti Harintyastuti 07110241030






PROGRAM STUDI ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN
JURUSAN FILSAFAT SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2008

A. Pendahuluan
1. Riwayat Singkat Ivan Illich
Beberapa puluh tahun lalu, dunia pendidikan pernah digemparkan dengan kehadiran seorang pemikir pendidikan revolusioner yang pikiran-pikirannya dipenuhi dengan gagasan-gagasan meletup-letup lagi mencengangkan. Dialah Ivan Illich lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada September 1926 di Wina, Austria. Ivan Illich seorang pemikir besar yang mempunyai latar belakang pendidikan teologi dan kemudian menjadi seorang rohaniawan Katolik penuh kontroversi. 
. Ketaatan Illich pada Gereja tetap utuh selama masa mudanya yang bergolak. Saat merenungkan keberadaanya sebagagi anak yang harus mengikuti orang tuanya dan tak pernah belajar di sekolah tertentu, Illich menyebutkan bahwa ia sempat bepindah-pindah tempat tinggal selama empat tahun di Dalmatia, Wina, dan Perancis, atau di manapun orang tuanya berada. Baru di rumah kakeknya di Wina, ia bertempat tinggal selama tahun 1930-an. Saat masih anak-anak inilah, perkembangan intelektual Illich bertambah bukan hanya karena belajar dari sejumlah guru privat yang mengajarkan berbagai bahasa (dan kemudian dikuasainya) dan membaca buku-buku dari perpustakaan pribadi milik neneknya, melainkan juga dari interaksinya dengan cendekiawan-cendekiawan penting yang menjadi sahabat orang tuanya (seperti Rudolf Steiner, Raine Maria Rilke, dan Jecques Maritain, belum lagi dokter keluarganya, Sigmund Freud). Illich dianggap terlalu muda untuk bersekolah, sehingga ia tidak segera dimasukkan ke sekolah meskipun sudah menunjukkan kecerdasan.
Pada 1938, serdadu Hilter menduduki Austria. Sebagai putra insinyur Dalmatia yang kaya dan ibu Yahudi Sphardic, Illich menjadi korban diskriminasi Nazi terhadap etnis Yahudi. Pada tahun 1941, bersama ibu dan saudara kembarnya, mereka meninggalkan Austria dan tinggal di Italia. Walaupun ia sulit menjelaskan keputusannya, pada periode inilah Illich memasuki Biara. Pada usia 24 tahun ia dihabiskan menjadi pastur dan meraih gelar master dalalm bidang teologi dan filsafat dari Gregorian University, Roma. Tak lama kemudian ia memperolah gelar doctor filsafat sejarah dari University of Salzburg, dengan bimbingan professor Albert Auer dan Michael Muechlin, Illich mulai berminat pada metode sejarah dan interpretasi naskah lama. Auer, yang tulisannya mengenai teologi penderitaan (theology of suffering) abad ke-12 sangat relevan bagi Illich, membimbing Illich untuk menyelesaikan tesis doktoralnya tentang metode sejarah dan filsafat Albert Toynbee. Illich juga mempelajari kimia lanjut (kristalografi) di University of Florence.
Pikiran-pikirannya dapat ditelusuri melalui beberapa karya yang telah ditulisnya. Penelusuran terhadap karya-karyanya ini menjadi demikian penting bagi generasi-generasi sepeninggalnya untuk secara arif menyikapi serta mengkritisi setiap gagasan yang dicetuskannya. Penulis menganggap proses kreatif ini, dengan menyelami serta mengkritisi, akan menemukan signifikansinya ketika dipahami dalam kerangka historis pada waktu pemikiran Illich lahir dan kemudian dikontekstualisasikan dalam masa sekarang.


B. Konsep-konsep Ivan Illich
Pemikiran yang akan disoroti dalam tulisan ini, adalah pemikiran pendidikan Ivan Illich dalam buku kontroversialnya yang berjudul “Deschooling Society”. Tentu saja penulis tidak akan terlalu jauh membahas setiap detil gagasan Illich, disebabkan luasnya gagasan-gagasan yang telah ia tuangkan dalam buku tersebut. Buku yang ditulis Illich dalam rangka mengkritisi praktek kemapanan pendidikan yang selama beberapa tahun diselenggarakan oleh sekolah ini, dianggap sangat berbahaya oleh beberapa pihak. Ia dianggap telah menyadarkan masyarakat akan urgensi peninjauan ulang beberapa konsep yang selama ini dianggap mapan oleh sebagian besar masyarakat. Ivan Illich memang berbeda dengan beberapa pemikir pendidikan lainnya seperti Paulo Freire. Ivan dianggap bukan sebagai pemikir yang memiliki massa (baca: pengikut) seperti layaknya Freire. Pemikiran-pemikiran Freire diikuti oleh banyak orang dikarenakan mempunyai target yang jelas, yaitu kaum tertindas (proletar dalam bahasa Marx) yang termarjinalkan oleh praktek pendidikan yang memang tidak adil lagi sangat menindas. Namun pemikiran Illich tetap penting dan, tentu saja, tetap menarik untuk dikaji. 
Melucuti kemapanan sekolah adalah tujuan awal dan gagasan pokok yang kemudian Illich tuangkan dalam tulisan-tulisannya. Sekolah, dalam pandangan Illich, adalah lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang sangat tidak egaliter lagi diskriminatif. Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik namun memperkurus kemanusiaan (dehumanisasi – meminjam istilah Freire). Penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah merupakan praksis yang tidak sebangun dengan pendidikan itu sendiri. Murid-murid sekolah kemudian mempunyai logika baru; belajar dianggap sebagai hasil proses pembelajaran yang diadakan oleh sekolah, semakin banyak pengajaran maka semakin banyak hasilnya, menambah materi maka akan semakin mempermudah keberhasilan. Illich menggedor kesadaran masyarakat untuk segera melakukan revolusi budaya, yakni dengan menguji mitos-mitos yang ada dalam lembaga sosial secara radikal yang selama ini telah mapan dalam pandangan masyarakat.
Kasus Indonesia yang mungkin bisa dianggap relevan dengan kritikan Illich adalah permasalahan yang saat ini masih digodok oleh decision maker yang berkenaan dengan sertifikasi guru. Dunia pendidikan Indonesia merupakan dunia problematis lagi kompleks. Sebagaimana pernah dilaporkan dalam salah satu TV swasta bahwa guru yang telah benar-benar memenuhi sertifikasi yang ditetapkan pemerintah hanyalah sekitar 31% (data per Desember 2006). Dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa men”sertifikasi’kan seluruh guru di negeri ini. 
Memang realita yang ada di Indonesia berbeda dengan realita yang dihadapi Illich pada waktu itu. Tesis Illich telah sampai pada kesimpulan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan telah menyebabkan langkanya ketrampilan. Sebagaimana dinyatakan oleh Illich “….Skill teachers are made scarce by the belief in the value of licenses. Certification constitutes a form of market manipulation and is plausible only to a schooled mind. Most teachers of arts and trades are less skillful, less inventive, and less communicative than the best craftsmen and tradesmen….”Ada permasalahan lain yang pada waktu itu belum sempat muncul. Penggalakan sertifikasi di Indonesia, disamping membuat diskriminasi, disinyalir juga akan memunculkan praktek jual beli gelar yang ilegal, program kuliah jarak jauh yang mempersingkat waktu untuk mendapatkan gelar, serta program kuliah yang berangkat dari logika semakin banyak uang semakin singkat waktu kuliah yang bisa ditempuh. Sungguh sangat ironis melihat kenyataan seperti itu. Pendidikan telah benar-benar direduksi dari makna mulia yang sebenarnya. Maka jangan salahkan kalau kemudian lulusan yang dihasilkanpun tidak mempunyai ruh pedagogis yang seharusnya dimiliki. Pendidikan kemudian kehilangan elanvitalnya.  
Dunia pendidikan Indonesia bak lingkaran setan. Sementara pemerintah meminta semua guru harus bersertifikasi dengan terlebih dahulu harus mengenyam pendidikan tinggi, masyarakatpun mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan tinggi “pemasok” guru bersertifikat (lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan keguruan), seringkali juga dikritik karena ketidakmampuannya menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan kompeten di bidangnya. Lembaga pendidikan tinggi ini dituding melahirkan lulusan yang setengah-setengah, bahkan tidak pantas menjadi seorang guru. Lulusan bersertfikatpun ternyata juga belum tentu memiliki kompetensi. Dan hal inilah yang perlu untuk segera dibenahi.


Antara Deschooling Society 
Sumber Daya Manusia merupakan sumber daya yang sangat penting bagi negara. Sumber daya ini, ketika ditingkatkan dan mempunyai kualitas yang tinggi, akan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa. Salah satu upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia tersebut adalah dengan melaksanakan pendidikan di berbagai tingkatan.
Berbagai macam teori-teori berkaitan dengan pendidikan kemudian lahir dari pemikiran-pemikiran para ahli. Pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan ini hanya akan menjadi utopia belaka tatkala tidak diejawantahkan dalam praksis pendidikan. Salah satu upaya penerjemahan teori-teori tersebut adalah dengan mendirikan sekolah.
Sekolah ketika awal berdirinya merupakan perpanjangan tangan dari pendidikan yang telah terlebih dahulu dilaksanakan oleh para orang tua. Tugas untuk melaksanakan pendidikan inipun kemudian beralih dari para orang tua kepada sekolah. Sekolah kemudian dipercaya orang tua untuk melaksanakan pendidikan bagi anak-anak mereka. Sekolah, bagi sebagian orang tua, bahkan dipercaya sebagai proses yang harus dijalani anak-anak mereka. Sekolah bagi sebagian orang tua, meminjam istilah Illich, merupakan inisiasi ritual yang akan sangat menentukan masa depan anak-anak.
Ternyata, bagi Ivan Illich, sekolah merupakan pelaksana pendidikan yang sangat diskriminatif dan tidak egaliter. Gagasan-gagasan Illich mengenai sekolah yang menurutnya justru membelenggu tersebut telah dituangkannya dalam sebuah buku fenomenal berjudul Deschooling Society. Dalam buku tersebut, Illich berusaha mendobrak kesadaran masyarakat yang selama ini terperangkap dalam mitos-mitos sosial yang ada dalam lembaga-lembaga era industri, seperti sekolah salah satunya, yang telah menjadi semakin mekanistik, anonim, massal, dan yang lebih parah lagi, memperkurus kemanusiaan, atau dehumanisasi, dalam istilah Freire.
Illich mengajukan suatu revolusi sosial yang dianggapnya perlu segera dilakukan. Sekolah dianggapnya hanya sebagai lembaga yang mereproduksi ideologi-ideologi kapitalis-konsumeristik. Tesis Illich ini bisa dibenarkan ketika dikaitkan dengan fenomena adanya kekuatan politik yang menunggangi pendidikan. Di Indonesia sendiri para ekonom yang termarjinalkan gara-gara memiliki perbedaan pandangan dengan ideologi mainstream yang dikembangkan negara, menyatakan bahwa pendidikan ekonomi Indonesia telah banyak disusupi unsur-unsur ekonomi liberal yang sangat kapitalis. Ideologi ekonomi inilah yang kemudian menyebabkan kebijakan ekonomi Indonesia sangat mudah diintervensi lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF dan world bank demi kepentingan mereka.
Gagasan-gagasan Illich hanya berusaha menggugah kesadaran kita mengenai sekolah. Jika sekolah sampai tidak dipercayai lagi sebagai pelaksana pendidikan, lalu siapa yang kemudian harus menggantikannya? Inilah yang kemudian menjadi tanggung jawab kita bersama untuk selalu memperbaharui konsep-konsep pendidikan yang sudah usang dan tidak lagi sesuai. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan juga harus bertanggung jawab terhadap sekolah. Pun juga pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang telah diberikan amanat harus bisa menempatkan diri serta menerapkan teori-teori serta berbagai konsep yang telah diramu sebagai formula terbaik bagi pendidikan.
1. Otokritik Pendidikan
Dalam literatur mengenai pendidikan kita menemukan dua tokoh yang sangat gencar mengkritik konsep pendidikan, yaitu Ivan Illich dan Paulo Freire. Pertama kita tengok pemikiran Ivan Illich. Dalam Deschooling Society (1974), ia mengkritik dua hal mengenai dunia pendidikan.
Pertama, kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipraktikkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Sehingga, peserta didik hanya diminta untuk mengejar formalitas nilai tanpa mengharapkan lebih pada kualitas proses pembelajaran.
Yang penting dapat nilai bagus, yang penting lulus, dan yang penting bisa dapat ijazah, itulah yang menjadi ukuran dan kepentingan pendidikan, bukan proses bagaimana mencetak siswa yang berwawasan luas dan berkepribadian baik.
Kedua, Illich mengkritik pendidikan hanya sebagai ”barang dagangan”. Tidak ada sekolah yang terbuka untuk menampung semua anak usia sekolah di masyarakat. Biasanya, kelas tertindas tidak mendapat akses pendidikan karena problem administratif atau birokasi sekolah. Dan yang jelas, ini dikarenakan tiada biaya untuk sekolah. Oleh karena itu, dalam pemikiran Illich, misi lembaga pendidikan modern sebenarnya mengabdi pada kepentingan modal, bukan sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Maka dia sering disebut sebagai pengusung ide “emoh sekolah!”.
Konsep ”pembelajaran secara berproses” (sebutlah ”learning by process”) tidak mengenal kata akhir dalam pendidikan. Artinya, yang lebih kita perlukan adalah bagaimana proses untuk menciptakan manusia yang berkualitas dengan menjadikan pendidikan sebagai basis sosial pemenuhan kebutuhan bagi wawasan dan pengetahuan masyarakat. Kita sering berpikir bahwa manusia dalam hidupnya sering dikendalikan oleh dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan. Tapi, kita sering lupa bahwa faktor manusia juga sangat menentukan. Untuk itulah, pendidikan yang membebaskan adalah bagaimana melepaskan manusia dari ”terali besi” (iron cage) kebodohan yang ada dalam dirinya. Kualitas pendidikan lebih melihat kondisi (internal) manusia, daripada hanya terbelenggu oleh ukuran-ukuran kuantitatif dan formalistik.
2. Pendidikan Berbasis Kerakyatan
Dengan melihat realitas pendidikan saat ini maka sudah saatnya kita memikirkan kembali gagasan untuk menciptakan model pendidikan gratis bagi rakyat kecil. Yaitu model pendidikan yang berbasis kerakyatan, terutama rakyat kecil yang tidak mampu. Upaya ini perlu digelar agar bisa menampung beberapa anak usia sekolah yang memang tidak mampu untuk bisa mengenyam dunia pendidikan dengan baik. Hanya dengan kepedulian sosial yang tinggi langkah demikian akan menjadi kenyataan yang tentu akan terealisasi.
Di tengah sulitnya mendapatkan pendidikan bagi rakyat kecil gagasan mengenai pendidikan gratis menjadi agenda penting yang perlu digulirkan. Hal ini kiranya bisa dikerjakan oleh beberapa organisasi masyarakat (ormas), yayasan, atau LSM yang bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan untuk membuka kelas atau sekolah yang memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat yang tak mampu.
Tidak perlu dibuat dalam bentuk struktur birokratik atau menjadi terkesan formal. Kalau memang terbentur soal dana operasionalisasi pendidikan, seperti pengadaan buku pelajaran, maka strategi yang tepat adalah berani untuk memfotokopi buku atau modul sebagai acuan dalam proses pembelajaran.
Lantas bagaimana dengan nilai dan ijazah? Mengenai nilai dan ijazah, dalam proses pendidikan ala kaum tertindas ini, keduanya tidak menjadi acuan utama. Seperti dikatakan Illich, nilai atau formalitas pendidikan hanya akan menghasilkan anak didik yang tak bermutu karena dipenuhi otak proyek pengumpulan nilai bagus dan demi ijazah saja, tanpa memperhatikan proses pengembangan diri secara dinamis.
Dengan begitu, maka setidaknya kaum tertindas tidak lagi terjebak pada permainan komersial yang gencar dilakukan beberapa oknum kapitalis pendidikan (termasuk negara). Kita merasa sedih melihat banyak kaum miskin yang tidak sanggup membayar biaya sekolah. Siapa yang akan perduli dengan mereka?
Piere Bourdieu, seorang sosiolog pendidikan, menyebut bahwa manusia saat ini tidak hanya melakukan kegiatan saham dalam bentuk material, tapi juga dalam bentuk symbolic capital, yaitu kapital yang bersifat simbolik tapi sarat makna dengan ragam kepentingannya. Kehidupan yang sangat aristokratis dalam relasi sosial akan sangat mudah membawa sistem pendidikan ke dalam model symbolic capital. Dengan gagasan pendidikan gratis untuk rakyat kecil, maka umumnya kaum tertindas akan bisa keluar dari kubangan dan jebakan aristokrasi pendidikan ini.
Usulan untuk membebasan biaya pendidikan dasar dan menengah terkesan masih utopis bila melihat keadaan saat ini. Apalagi itu masih masuk dalam struktur negara atau pemerintah karena aturan prosedural tidak menghendaki demikian. Langkah yang lebih memungkinkan adalah bagaimana meningkatkan subsidi pemerintah yang lebih menjanjikan bagi pendanaan pendidikan. Pendidikan gratis untuk rakyat kecil ini adalah sebuah langkah nonformal yang penting untuk digelar oleh beberapa komunitas sosial yang sangat konsern dengan dunia pendidikan saat ini.



D. Dafrtar Pustaka
Joy A. Palmer. 2003. 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget sampai Massa Sekarang. Jendela Offset. Yogyakarta.
http://fuadinotkamal.wordpress.com/2007/12/31/melucuti-kemapanan-sekolah-menimbang-tesis-ivan-illich/
http://fooadysmile.blogjurnalistikonlain.com/wordpress/?p=3



Tidak ada komentar:

Posting Komentar